Wednesday, August 29, 2012

Perahu Kertas


Novel yang sudah cukup lama kumiliki. 3 tahun lamanya. My first impression was... well, so so. But I meant to change it. So about a week ago, I started rereading it. I started to dig all the messages that I didn't get 3 years ago. Walaupun sebenarnya background yang mendasari adalah karna novel ini akhirnya difilmkan. Mendengar berita tentang pemfilmannya beberapa bulan lalu, sontak diri sedikit (banyak) shock. What's?!? Apaan novel beginian difilmkan? Lalu update-update di Twitter pun menggema, yang tak begitu dengan takjub kuikuti, tidak - sampai account penulis, penerbit, dan filmnya sendiri memasang avatar (foto profil di Twitter) yang sama. Pertanyaannya menjadi lain sejak saat itu. Apa yang salah dengan diriku sehingga mainstream kebanyakan orang yang menyukai Perahu Kertas tak dapat menyentuku? Maka keputusan membaca kembali - sekaligus persiapan sebelum nonton (daripada dihina habis-habisan karna katanya ngefans banget sama Dee, namun tak mengerti betul cerita Perhu Kertas) - kuambil. Tak hanya karya Dee yang ini bahkan. Aku juga bertekad membaca kembali semua seri Supernova (sudah untuk KPBJ). Tak berhubungan dengan film Perahu Kertas mungkin. Namun ini berkaitan erat dengan diriku saat ini, di mana buku lebih banyak mendominasi keinginanku. Aku ingin memaknai kembali semua hal (dalam buku) dengan pola pikirku saat ini (yang mulai mencoba bergelut dan menjadi kekasih buku).

Perahu Kertas pun telah kubabat habis dalam waktu yang dalam kamusku "super cepat" - 14 jam untuk novel 400an halaman dengan font, yang lagi dalam kamusku: menyebalkan. Biografi singkat Rumi pun harus kutunda kuselesaikan, padahal buku berdimensi 'kecil' itu, dengan jumlah halaman yang juga "kecil", seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu semalam saja (bila dihitung secara linier). Supernova Partikel, cerita si 'kecil' Zarah pun (entah mengapa Zarah selalu kuanggap kecil, bukan karna sinonim dari partikel, mungkin karna sisi kehilangan ayahnya), berhasil kuselesaikan dalam waktu 4 hari (dengan ejekan frontal dari seseorang tentunya). 14 jam ini hampir menyaingi lamanya pembacaan atas 'Akar'-ku. 12 jam kuhabiskan kala itu. 6 sore hingga menuju 6 pagi bersama Bodhi yang kucinta. Ah, senang sekali aku dapat membaca secepat ini lagi (mengingat Eat, Pray, Love yang kuselesaikan dalam watu setahun - masyaAllah!).

Lalu alhamdulillah, aku dapat menangkap makna - walau belum mendialektika. Makna yang tak kudapat ketika pertama kali aku membacanya. Bila pertama membaca aku sinisnya minta ampun, kali ini aku, dengan hati terbuka (dan benak terbuka tentunya) mulai membacanya. Apa itu maksud 'hati terbuka'? Confession: ketika novel ini baru terbit (2009), aku sedang dalam penantian panjang akan seri terbaru Supernova. Aku sedang sakau dalam candu tertahanku akan Bodhi, yang hanya sedikit saja disentil-sentil di Supernova 'Petir' yang rilisnya sudah bertahun-tahuuun yang lalu (2004 - dan baru kubaca 2007an). Kupikir aku akan mendapatkannya dalam Perahu Kertas. Paling tidak nafas 'penuh pikir'nya. Agaknya harap terlalu tingi ini harus terhempaskan (pastinya). Salah berharap gitu deh. Namun tak hanya itu. Rupanya aku belum mengenal Mbak Dee (lagaknya sekarang udah). Aku hanya menginterpretasikan Dee dengan Supernovanya. Padahal karyanya yang lain masih banyak yang saat itu (saat pertama kali membaca PK) belum kusentuh. Sebut saja Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2008), dan karya di luar literaturnya: lirik lagu yang ia cipta (dan nyanyi)kan. Aku sebagai pembaca sungguh sangat egois. Menghakimi dengan sepihak, tanpa mau memberikan sedikit 'ruang kosong' untuk 'kemungkinan lain'. Pada akhirnya, pembacaan di akhir tahun 2009 itu pun tak memberi 'makna' selain, ah well.. 'kisah picisan' saja.

Kesinisan ini akhirnya mau tak mau harus kuhempaskan. Aku berkata 'mau tak mau' karna aku saat ini mulai memasukkan 'buku' ke dalam daftar 'kata inspiratif'ku. Karnanya aku mulai berprinsip 'ruang kosong', agar dapat menadah segala makna. Kemampuan ini secara otomatis menggiringku untuk memiliki kesadaran akan betapa menyedihkannya diriku (dahulu); lalu mulai "membalas dendam": harus membaca ulang semua!, harus memakna yang baru dengan kesimpulan yang baru. Sebenarnya ini sudah menjadi kebiasaanku. Secara periodik aku akan mengulang membaca; karna kemampuan memakna diriku secara periodik juga berubah - seiring dengan pengetahuanku yang bertambah dan pasti ada serpih makna yang hilang ketika membaca: karna faktor ngantuk di tengah membaca, dll., sehingga tak semua makna yang penulis coba sampaikan dapat kuraih. Dengan demikian membaca ulang akan berdampak pada pengumpulan serpih-serpih yang dalam pembacaan sebelumnya luput tertangkap. Katakalah rekor membaca ulangku tertahan pada "The Alchemist"nya Coelho. 5 kali, dengan makna dan semangat baru yang selalu dapat kutangkap.

Bolehlah dibilang bila saat ini aku sudah mulai bijak dan menerima, bahwa Mbak Dee tak hanya berarti Supernova, apalagi hanya berarti 'Bodhi' (pengakuan lain: aku dulu terlalu maksa bahwa Bodhi adalah tokoh terfavorit Dee - hanya karna aku sangat mengidolakannya). Sebagai yang menamakan dirinya 'pengagum' Dewi Lestari, aku mulai membaca Filosofi Kopi, membaca kembali Madre (2011), dan menyadari bahwa karya besar Supernova hadir karna serpih-serpih karya kecil, dan karya lainnya dalam kehidupan menulis Dee (kukatakan serpih karna Madre dan Filosofi Kopi merupakan kumpulan tulisan berisi puisi dan cerita yang terlalu panjang bila disebut sebagai cerpen dan terlalu pendek sebagai novel). Pemaknaan atas "small is beautiful"ku juga berlaku di sini, tentu. Karna, tak mungkin seorang Dee saat ini, hadir tanpa histori. Tak mungkin Dee yang kita tahu saat ini, hadir tanpa Perahu Kertas "hadir" sebagai karyanya.

Perahu Kertas

Ok, main point: makna. Novel yang mengikutsertakan mainan anak segala generasi tersebut ternyata sarat makna! Dan Tuhan, terima kasih saya telah membacanya kembali! Seperti yang dibilang Dewi dalam kisah penulisannya berjudul "Melajulah Perahu Kertasku...", Kugy dan Keenan, tokoh utama dalam novel ini, "berdiri di dua kutub berlawanan dan pada akhirnya harus bertemu di tengah segala kemustahilan". Titik beratnya berada pada kemustahilan tersebut. Dee menjabarkan kemustahilannya dalam beberapa kisah yang menggemaskan. Bagi kita orang yang berpikiran praktis, memang sungguh mustahil bila akhirnya Keenan dan Kugy dapat bersatu, kecuali tentu, Dee yang memegang kunci. Dia membukakan jalan bagi keduanya untuk bersama (dalam cinta dan cita). Sekali lagi hati menjadi kata kunci utama. Menjadi nafas dalam karya satu ini.

Uniknya, dua tokoh utama yang telah sadar akan kata hati mereka masing-masing, tak serta-merta menurutinya. Hati mereka seolah berlogika lain (paradoks: hati kok berlogika?). Sementara mereka sangat ingin bersatu, dan sudah saling tahu demikian adanya, sementara mereka tiada bisa bersatu dan memutuskan untuk memberi bagi yang lain - bagi dua malaikat terdekat dalam hidup mereka. Hati pun dipilih takdir. Dua malaikat melepas mereka: bila tak sepenuhnya, apa gunanya?

Seperti yang sudah-sudah mengenai cerita cinta - cerita cinta, aku pun merasa ada kemiripan kisah cinta dengan Kugy dan Keenan. Ah, semua orang pasti juga sering menyama-nyamakan kisahnya dengan kisah yang ia baca, atau yang ia tonton di film. Indikasinya pasti karena memang demikianlah kisah cinta: salah harap, penuh harap, terhempaskan. Namun mulai ke bagian tengah novel ini, kita mulai tak bisa menyama-nyamakan lagi. Dee berhasil membuang sensasi 'sama' tersebut. Karena begitu banyak kisah 'salah harap, penuh harap, dan terhempaskan' yang ia tuangkan dalam Perahu Kertas. Walhasil jika di awal kita berteriak "ah, Keenan ini aku banget!!", "ah, cerita mereka berdua ini cerita kami banget, sih!!!", maka kita akan bersiap kecewa ketika cerita mulai menunjukkan kisah cinta berikutnya. And we will realize, "Ok, this story is definitely NOT mine. At all.". Dee berhasil menekankan kepada pembaca bahwa "ini adalah kisah Kugy dan Keenan." (titik).

Derita cinta tentu saja membahana dalam novel ini. Kugy memilih lari, dan paling tidak aku lebih suka dengan kerakternya yang teguh menyimpan rasa untuk satu-satunya partner 'agen Neptunus'nya (walau akhirnya menyerah dengan memilih Remi). Sisi manusiawi seseorang sangat ditekankan oleh Dee di sini, di mana Kugy pun tak mungkin sebegitu kuatnya menahan harap yang kian buram, dan lebih memilih realitas yang tentu akan sangat menghiburnya. Keenan, well, mungkin karna alasan "laki-laki"nya, kurang bisa teguh untuk mempertahankan 'rasa'nya pada Kugy. Ia pun mudah untuk tidak bilang "tidak" pada perempuan yang menurutnya dapat mengambil hatinya - walau tak sepenuhnya. Keenan adalah sosok yang digambarkan terlampau bingung atas orientasi rasanya. Mungkin ini didasarkan pada alasan karena pria lebih logis daripada perempuan. Dee tak serta-merta menuliskan karakter yang sama atas Kugy dan Keenan. Perbedaan karakter ini, singkatnya karna didasarkan pada 'pria dan wanita'. Bukan sexist lho.. Pokoknya aku jadi ingat puisi Gie: "kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta." Beruntung, Kugy juga memiliki pacar, layaknya Keenan, ketika mereka akhirnya bertemu kembali. Paling tidak Kugy tak perlu sekali lagi mengalami hancur yang membulat rapat.

Namun itulah perjalanan cinta. Seperti pendapat yang sering terdengar ketika curhat: "Ih, kalau saja sudah sama orang lain, dia malah datang. Kemarin-kemarin ke manaaaaa???". Dan realitasnya kadang memaksa manusia untuk memilih yang tak sesuai dengan hatinya, dan lama-lama menjadi sosok pragmatis yang praktis. Bedebah ya? Hahaha. Yang bahagia tetap yang bersumber dari hati. Bila tidak bahagia, ya berarti bukan dari hati. So much easy in theory.

Lalu yang tidak kusadari ketika pertama kali aku membaca novel ini: Kehadiran Dee. Tepat kata bila aku memilih istilah "bodoh" untuk diriku yang itu. Jelas-jelas Dee itu hadir. Dia muncul seperti semua Dee yang ada di Supernova, yang ada di Filosofi Kopi, yang ada di Madre, yang ada di semua karyanya. Itu Dee! (dan ingin rasanya aku menampar diriku yang dulu). Narasinya begitu jelas menggambarkan dirinya. Dee tak pernah tak ada. Ia menjelma menggiring roh-roh muda naif cinta dalam kisah Perahu Kertasnya. Ketika Noni tak tahu tulisan siapa yang selalu dikutip Kugy dalam buku-buku dongengnya, Dee memberi tahu bahwa itu kutipan W. B. Yeats. Ketika Kugy berkata tentang dirinya yang akan meledak seperti petasan karna kegirangan, Dee memberi sinyal pada Luhde untuk merasa dan berkata serupa pada Keenan. Dee juga hadir, sangat jelas, pada kata-kata yang ditulis Kugy untuk Keenan di ucapan kado buku dongengnya. Itu Dee hadir dengan gamblang dan halusnya, namun diriku dulu lebih memilih mengesampingkannya - memilih menikmati ketidaknyamanan genre yang berbeda dengan Supernova. Ah, kelakuan kan..

Dan oke, jelas Dee selalu ingin menantang 'mainstream'; karna idealnya memang harus demikian. Kugy dengan segala karakternya menggambarkan statement tersebut. Keenan dengan segala kemandiriannya berani keluar dari rumah. Dan kisah cinta cita mereka berdua yang sungguh ideal. Cinta mereka disatukan. Mimpi mereka diwujudkan. Dee memaksa tokohnya untuk teguh dalam mendirikan mimpi. Untuk terus mengejar. Seperti kisah-kisah milik Coelho, Perahu Kertas juga berpesan tentang betapa pentingnya meraih mimpi.

Yang terpenting yang dulu dengan tololnya tak kutangkap: "menulis". Tidak hanya "cita-cita biasa" yang Kugy perjuangkan, tetapi cita-cita spesial! Sungguh spesial! Itu tentang mengabar makna!! Tentang bagaimana menulis dongeng begitu penting baginya. Nafas yang selalu meneranginya, selalu membuatnya bergairah dan selalu membuatnya meledak-ledak. Kugy membawa pesan bahwa menulis sangat penting baginya, dan sedikitnya itu menyentakkan lamunku selama ini. Aku memang tak begitu ngefans dengan tokoh ini (mungkin karna Maudy Ayunda, pemerannya yang secara nyata berbeda karakter dengan Kugy - bikin ilfil sumpah), namun aku akan berkiblat yang sama dengannya jika yang ia perjuangkan adalah sesuatu yang berbau menulis. Aku satu aliran dengannya dalam hal itu - bahkan, aku memujanya karenanya.

Bagian lain yang menyenangkan adalah spekulasi-spekulasi Kugy yang dituliskan Dee. Pasti ini yang kata temanku dibilang "beban ala `Freudian`". Apa pun itu, rasanya menyesakkan membaca beban-beban yang digambarkan Dee di sana. Menyesakkan, namun menyenangkan. Baca sendiri sajalah, biar mengerti. :P

Dan untuk film.. Ah, lebih baik tak usah lah novel-novel itu difilmkan. Menikmati film yang diadopsi dari sebuah novel itu susah dilakukan. Yang pertama karna pasti kita akan mencari-cari perbedaan antara novel dan film. Lalu kedua, setelah tahu perbedaannya, seringkali kita merasa kecewa oleh gambaran sutradara. Ketiga, setelah kecewa akhirnya berkomentar negatif. Benar-benar tak ada enjoyment-nya sama sekali. Kita juga menilainya sudah salah sih. Pertama, film itu kan cuma diadopsi, jadi hanya based on the novel aja, so don't ever hope that much - hanya benang merahnya yang sama. Don't ever hope for the detail story. No, don't. Yang kedua, kreatifitas bikin novel dan film itu beda, jadi standard penilaian yang kita pake harus berbeda pula, standard menikmati ceritanya pun harus berbeda. Ketiga, kita segera memulai penilaian sesaat setelah film dimulai. Kemudian selalu menilainya ketika adegan demi adegan berganti. Ya pastilah kita tak akan sanggup memberi komentar positif - kita saja dari awal sudah memutuskan untuk tidak menikmati. Diam dulu. Kosongkan pikiran. Dan nikmati ke(tidak)nikmatan yang tersaji. Pembandingannya ditunda dulu sampai film usai. Maka aku yakin, yang merasa diuntungkan adalah yang otaknya masih kosong: mereka yang belum baca novelnya. Ya, ya, ya..

Sudah lah, segini aja, tak mau aku jika harus membahas yang bikin kecewa-kecewa.. --> korban
Hahaha!!

Anyway, if you still enjoy reading, here I give you the next reading list. It's about the novel that was brought into a movie also - in terms of critiquing. Nice article from my beloved friend. It was published in Koran Tempo in "Ide" section in March this year. Enjoy! :)

4 comments:

  1. sebagai sesama penikmat dee, rasanya ga beda jauh wkt pertama baca perahu kertas. wkt itu cm mikir dan maklum krn dibilang itu novel pertama nya dee (eh bener ga ya??). tp kalo dipikir2 bener juga yg kamu tulis (manggut2 wae lahh) :)
    cuma aku udah ntn film nya, iseng2 sendirian kabur dari kantor.. hahahaa :D hasilnya berasa alien diantara ABG metropolis

    ReplyDelete
  2. Kan dulu ini cerita bersambung, bukan novel. Trus ditulis ulang dalam bentuk digital, trus ditulis ulang dalam bentuk novel yang kita tahu ini. Jadi yang kita nikmati ini adalah hasil dariiiiii beberapa kali penulisan ulang begitu.

    Eh, ibu yang suka kabur dari kantor. Hahahah! Aku suka soundtracknya, beliin dong, 50rban di Gramed. Aku males ngeluarin duit, males juga ngunduh bajakan.. Oktober yak! Ketemu dek Zaki(ku)!!!!

    ReplyDelete
  3. hahahaa.. kalo aq suka novelnya dee karena pas mbaca, kalimat2nya menari2 d kepalaq.. hehe :D jadi ga bikin bosen.. sederhana bgd yahh
    ga sabar nunggu kelanjutan supernova yang jelas.. coz penasaran :p

    ReplyDelete
  4. yang bikin otak muter-muter emang layak diacungin jempol.. 4 thumbs up, or even more! hahaha! :^D

    akhirnya, kamu terdampar lagi di sini, Ta.. :p

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b