Sunday, November 08, 2009

hati yang tak berkata-kata

Hatiku muLai tanpa kata-kata Lagi, dan ini bahaya..

PadahaL kemaren saya sudah naik gunung, sudah membaca novel-novel, sudah merasakan berbagai mimpi yang menggugah rasa aman, tetapi entah ke mana hati yang berkata-kata itu. Atau karena diri ini muLai merasa sangat nyaman? sangat nyaman dengan kebodohan2 yang ada?? Istighfar saya dibuatnya. Tuhanku, apa yang terjadi? Euforia kah?? Sebuah deniaL kah?? 

Resolusi atas ke-21 tahun umurku teLah ditetapkan, dan teLah berhasiL di rumuskan. DimuLai dengan perjaLanan menuju puncak gunung Lawu yang penuh perjuangan. Kuanggap itu awaL muLa resolusi 21 tahunku. NgLawu kemaren tertanggaL 30 Oktober 2009, dan kembaLi ke daratan normaL pada esoknya: 31 Oktober 2009, yaitu tanggaL di mana Oktober berakhir. Penghujung Oktober. DeadLine agar diri ini bangun. Wake me up when October ends, I said. Aku sudah 21 tahun di penghujung Oktober. PerjaLanan ke Lawu kemaren, merupakan perjaLanan penuh pengaLaman spirituaL, perjaLanan yang berbeda dengan naik gunung-naik gunung sebeLumnya. It's totaLLy awake me up, It's totaLLy worthfuL, it's totaLLy recharge....

PerjaLanan spirituaL sebagai pintu atas resolusi diri yang akan kujaLani. PerjaLanan spirituaL. TerLaLu berLebihan?? Bukan. Memang, ini hanya subyektifitas saya saja. Naik gunung sebagai subyektifitas, bukannya memang demikian??

Naik gunung, yang Lebih famiLiar saya sebut dengan istiLah mountaining daripada mountaneering, bagi saya sangat merefresh diri kita saat kita meLihat keindahan dan kebesaran yang Maha Kuasa. Saat kita meLihat betapa keciLnya bumi yang kita tinggaLi; betapa besar dan Luasnya ciptaan Tuhan; betapa indahnya karya sang Pencipta yang diutarakan Lewat semburat jingga Langit fajar akibat mentari yang muLai menaiki horizon, Lewat semak-semak yang meng-emas akibat semburan sang senja, atau Lewat tebaLnya awan putih berhiaskan murninya biru Langit saat di tengah hari terik berada di puncak. atau bahkan hanya Lewat temaram maLam berhias gemintang serta merta diiringi rembuLan dengan bentuk tertentu: sabit, setengah buLat, tiga perempat, atau penuh. Mountaining, yang refreshing, bagi saya meLihat, kemudian turun ke hati, LaLu menjadi sebuah rasa bersyukur yang penuh, memuja yang penuh, bahagia yang penuh.

Tapi NgLawu sebagai awaL resolusi diri saya kemaren, berbeda maknanya, bukan Lagi yang dari mata kemudian turun ke hati. Seperti yang saya katakan, Mountaining Lawu kemarin Lebih ke PerjaLanan spirituaL: sebuah PerjaLanan. Dari berjaLan turun ke hati. Bukan dari meLihat, tapi dari berjaLan. Sebuah perubahan bagaimana rasa itu datang. Saya sungguh memaknai perjaLanan dari bawah, ke puncak, LaLu ke bawah Lagi. Dari satu pos, ke pos Lain. Dari moment tidur ke moment tidur berikutnya. Dari kaki yang penuh semangat, ke kaki yang penuh LeLah (dan penuh kepincangan). Dari tawa canda, senyuman, keceriaan, kepada sesuatu bernama keLuh, kesah, gerutu. Dari senandung penyemangat satu, ke senandung penyemangat Lainnya. Dari track satu, ke track Lain, dan kembaLi ke track serupa. Dari kebosanan terhadap jaLanan yang meLuLu batu dan menanjak, ke kebosanan terhadap berjaLan itu sendiri. Dari suatu cucuran keringat ke cucuran keringat Lain. Dari ketakutan terhadap geLap, ke ketakutan terhadap bayang2 hitam oLeh sinar rembuLan. Betapa semuanya merupakan rangkuman dari berjaLan, dari suatu perjaLanan, hingga saya kembaLi meLihat Lampu-Lampu rumah penduduk, dan kemudian meraihnya untuk semakin dekat, dan dekat, dan kemudian saya teLah berada di bawahnya: saya teLah sampai di tempat yang sangat diinginkan oLeh semua pendaki yang sedang turun gunung, kembaLi ke basecamp.

Itu yang saya rasakan. Bagaimana perjuangan saya ke puncak, LaLu berada di basecamp Lagi. Tentang gerutu-gerutu yang muncuL, kemudian dinetraLkan oLeh kepositifan sebuah dendangan Lagu penyemangat yang hadir daLam hati saya. Tentang sebuah tekad untuk meraih puncak ke-7 saya, dan tekad untuk menuntaskan sebuah Lawu. PerjaLanan spirituaL, yang dengan berjaLan itu, saya mendapatkan banyak sekaLi kata-kata dari hati saya. Hati saya dengan LeLuasa berkata-kata, dan otak saya terLaLu LeLah untuk menanggapi. Betapa kadar spirituaL saya meningkat karena kebahagiaan sang hati. Betapa bahagianya dunia di bawah aLam sadar saya. Dan itu bukan semata-mata karena meLihat, tapi karena merasakan makna berjaLan: makna yang hadir kaLa saya berjaLan.

PerjaLan spirituaL, bukan terLaLu berLebihan, tapi ini yang saya rasakan. NgLawu hanya permuLaan, dan masih ada beberapa haL yang harus kuLakukan untuk resolusi 21 tahunku.

Dan kemudian saya di sini, tanpa hati yang berkata-kata Lagi. Apa ini? Gara-gara saya sudah berada daLam komunitas yang hangat, yang saya merasa sangat-sangat nyaman di daLamnya? gara-gara ini kah? Bahaya, cepat saja otakku mengambiL peran, mematikan segaLa bisik suara hati. Saya sedang daLam situasi yang membahayakan, padahaL ngLawu baru seminggu yang LaLu saja. Saya bingung, dan kehabisan kata-kata untuk menjeLaskannya. Dicukupkan sekian saja.. T_T

(sebuah berjaLan, dan berjaLan menuju basecamp, basecamp!!!)
(saLah satu moment tidur saya di puncak Lawu)
(fiuuh, akhirnya di puncak juga...>.<)

2 comments:

  1. haloo mbak, numpang blog walking.
    :D

    aku jadi inget sama The Alchemist mbak. ikuti kata hatimu. jika hatimu sudah tidak berkata-kata lagi, seharusnya engkau khawatir. karena Jiwa Dunia akan memberimu pertanda lewat hatimu yang berbicara.
    :)

    ReplyDelete
  2. iya e, makanya aku khawatir, dek..
    haha..

    ReplyDelete

enter what comes into your head.. -_-b